Gempa bumi berkekuatan Magnitudo 6,5 yang mengguncang perairan Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, pada hari Selasa, 10 Oktober 2025, pukul 14.30 WIB, bukan sekadar peristiwa lokal. Peristiwa seismik dengan kedalaman hiposentrum 10 kilometer ini memicu kekhawatiran yang memiliki Global Impact (Dampak Global), terutama dalam konteks stabilitas jalur pelayaran internasional dan investasi di kawasan Asia Tenggara. Meskipun pusat gempa berada di laut, getaran kuat dirasakan hingga Pulau Sapudi dan sebagian wilayah Jawa Timur, mengakibatkan kerusakan serius pada 85 unit rumah warga, tiga fasilitas publik, dan satu jembatan penghubung desa. Data terbaru dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mencatat 15 orang mengalami luka ringan dan telah mendapatkan penanganan medis di Puskesmas terdekat, sementara tidak ada laporan korban jiwa yang tercatat hingga pukul 20.00 WIB di hari yang sama.
Reaksi cepat ditunjukkan oleh otoritas setempat. Komandan Resort Militer (Danrem) 084/Bhaskara Jaya, Kolonel Inf. Wahyu Jatmiko, segera mengerahkan 300 personel gabungan TNI, Polri, dan Basarnas untuk fokus pada operasi pencarian, pertolongan, dan pendataan kerusakan di Pulau Sapudi yang paling terdampak. Upaya mitigasi bencana regional menjadi sorotan utama. Wilayah Indonesia, yang terletak di zona Cincin Api Pasifik, secara inheren rentan terhadap aktivitas tektonik. Gempa Sumenep ini menjadi pengingat kritis akan urgensi penguatan infrastruktur dan sistem peringatan dini. Para ahli geologi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengonfirmasi bahwa gempa ini dipicu oleh pergerakan Sesar Kendeng yang teraktifkan, sebuah fakta yang menambah tingkat kewaspadaan di seluruh Pulau Jawa.
Dari perspektif ekonomi, peristiwa seperti ini dapat memiliki Global Impact tidak langsung. Sumenep dan Madura merupakan bagian dari jalur logistik maritim yang vital. Meskipun pelabuhan utama tidak mengalami kerusakan signifikan, terganggunya rantai pasok lokal dan potensi kenaikan premi asuransi untuk wilayah rawan bencana akan menjadi perhatian serius bagi investor asing dan mitra dagang. Oleh karena itu, langkah-langkah Mitigasi Bencana harus diintegrasikan dengan rencana pembangunan ekonomi jangka panjang. Pemerintah daerah, berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sedang menyusun program percepatan pembangunan kembali (rekonstruksi) yang menargetkan penyelesaian dalam 90 hari, dengan fokus pada penerapan standar bangunan tahan gempa sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Nomor 22 Tahun 2018.
Tinjauan ini menyoroti bahwa insiden lokal memiliki resonansi yang lebih luas. Program edukasi publik tentang cara menghadapi gempa dan tsunami, yang sebelumnya bersifat sporadis, kini harus menjadi kurikulum wajib. Keterlibatan komunitas dalam latihan simulasi evakuasi, seperti yang dianjurkan oleh BPBD pada bulan September 2025 lalu, adalah kunci untuk meminimalkan kerugian di masa depan. Upaya ini harus didukung oleh alokasi dana khusus untuk sistem peringatan dini yang modern dan terintegrasi, yang mana dampaknya akan membantu mengurangi Global Impact negatif dari setiap peristiwa bencana yang tak terhindarkan. Kesimpulannya, gempa M 6,5 Sumenep adalah katalisator bagi Indonesia untuk menegaskan kembali komitmennya terhadap Ketahanan Bencana yang kokoh, demi keselamatan warganya dan stabilitas ekonomi regional.
